Rabu, 19 September 2018

Metafora

Aku adalah benih dalam pemeran drama kehidupan. Yang mengakar menjalar jauh menghujam, seraya tumbuh menyeruak ke atas berlomba mencari cahaya mentari. Dengan segala rintang dan upaya yang menjadikanku tangguh dalam coba. Yang kusingkirkan adalah batu besar. Yang kukalahkan tanah tandus. Lantas, sudah jumawa aku bahwa akulah yang mengerti akan upaya dari pencarian kehidupan. Lantas, pantaskah aku sombong ketika yang kuhadapi hanya kerikil yang tak sebanding dengan bunga layu yang akarnya tercabut oleh ulah makhluk lain? Atau kulihat bunga kecil indah yang mekar yang batangnya sudah tercabik dan daunnya hampir habis dimakan ulat? Sungguh, mekarkupun tak seindah mereka...

Dan ketergantungan itu mulai menyiksa...
Melahap rasa dengan paksa...
Menyulut perih yang tak terkira...
Dan kuhanya bisa kirimkan do'a...

Semoga layumu tak lama
Segera kau mendapat cahaya
Hingga padakupun kau lupa
Biar aku lega
Dalam hati yang sebenarnya tak rela

-Cilentah, September 19th 2018-

Kamis, 17 Mei 2018

Pecundang

Pelan... Ini sakit. Terlanjur menghujam apa yang terjadi. Sudah terlalu dalam rasa itu terpatri. Terasa perih, tersayat meninggalkan bekas luka. Yang tak tampak dan tak meneteskan darah. Hanya saja, mengalir... sedikit demi sedikit. Rasa sesal bercampur duka. Menghiasi kisah yang tiada sempurna.

Kalut... aku terlalu memaksakan yang telah kurasakan. Mencoba pelan dan berharap segalanya menawan. Luluh lantak, dan sekejap aku tergeletak. Mendadak aku harus siuman. Padahal, aku tak sedikitpun hilang kesadaran. Tapi ini memang paksaan. Harus, tanpa dalih tanpa alasan.

Kulepas...
Kutanggalkan...
Mimpi mimpi, serta harapan kosong yang berakhir dengan kekosongan pula. Aku menyerah pada nasib. Yang selama ini selalu kulawan. Meskipun strereotype melekat, membuat hati tersayat sayat. Aku tunduk...


Aku, kalah...

Sabtu, 03 Februari 2018

استخارة (Istikhoroh)

Bimbang....
Tatkala hati dirundung banyak sekali pilihan. Dalam kehidupan ini, semua layaknya kisah bercabang. Layaknya sungai dan anak anaknya. Berawal satu, bisa memecah ke segala arah. Menjadi alur lain yang memiliki kisah sendiri sendiri. Namun, terkadang pula bisa jadi jalur yang berbeda memiliki akhir yang sama. Itulah yang aku pahami sebagai takdir. Dan anak sungai sebagai pilihan yang bermetamorfosa menjadi sebuah ketentuan.

Ya, sebuah qada dan qadar. Begitu aku memahaminya. Sehingga, aku tak menyalahkan Tuhan atas apa yang menjadi ketentuan dan takdirNya. Aku bisa saja mendapatkan mangga di pohon tetangga dengan mengambilnya begitu saja. Namun, tak sulit juga bagiku untuk meminta ijin baik baik untuk memetiknya. Keduanya, menjadikanku memiliki mangga itu. Itulah takdir. Dan pilihan untuk memilikinya adalah sebuah ketentuan. Hanya saja, berkah lah yang menjadikan beda.

Ada istilah rezeki tak akan kemana, atau jodoh sudah digariskan. Betul adanya. Namun, perlu diingat adalah kita diberikan kesempatan untuk merubahnya. Kita diberikan free will untuk berkehidupan. Tapi juga tidak berlaku pada beberapa hal. Misalkan, kamu tidak bisa memilih oleh rahim siapa kamu lahir di dunia ini. Pada intinya, bagi yang sudah terlanjur hidup, maka syukurilah saja. Sisanya, perjuangkan.

Lagi-lagi soal pilihan. Ya, kita selalu dihadapkan dalam pilihan. Buruk atau tidak, kita bisa gunakan akal ini untuk memilih. Namun, akal saja terkadang tak cukup untuk memutuskan dalam suatu pilihan. Untuk itu, Tuhan pun sudah memberikan solusi untuk yang menginginkan kemantapan hati. Istikhoroh, ibadah sunnah. Shalat. Yang mudah. Untuk mendapatkan kemantapan hati atas segala pilihan yang akan kita ambil. Keputusan, yang akan kita jalani. Dan cerita bercabang, yang kita akan lalui.

استخارة 😊