Kamis, 13 Oktober 2016

Syukur

Apalah yang lebih menyakitkan dari cintamu pada ia tak bersambut? Atau kekasihmu tiada berakhir denganmu?

Ialah ketika Tuhanmu mulai mengambil kembali cinta yang mencintaimu seseorang yang mengandungmu, seseorang yang merawatmu, seseorang yang menyanyangimu dengan ketulusan hati. Melebihi untaian kasih makhluk manapun.

Iya. Orang tuamu. Apalagi ibumu. Boleh jadi orang tuamu kau anggap tak baik. Atau memang tidak sempurna. Tapi ketahuilah bahwa cintanya padamu itu, yang menyempurnakan semuanya.

Tiada sebanding kekasihmu yang kau harapkan dengan kasih ibumu yang menyayangimu tanpa syarat.

Selagi masih bisa, rangkulah ibumu. Selagi masih ada, cium mesra ibumu. Selagi masih bertemu raga, peluklah ia. Dengan cinta.

Sebelum ia pergi di tempat yang tak bisa kau capai

Yogyakarta, 10 bulan yang lalu

Lempuyangan, 10 bulan yang lalu. Sekitar itu. Aku masih ingat senyum yang selalu kau tampakkan. Kita tertawa dan sesekali bercanda. Tentang apa saja yang kita ceritakan dan itu sungguh menyenangkan bagiku. Semoga sama halnya denganmu kala itu. Setelah beberapa menit menunggu, tiba saatnya kau kembali ke rumahmu. Tempat di mana kau dan orang tuamu tinggal. Aku masih berfikir suatu saat kita kan berjumpa lagi. Bercanda dan tertawa layaknya kita dulu. Walau dalam hati aku juga sedih karena begitu jauh jarak yang memisahkan kita. Namun, kenyataan berkata lain. Aku yang tak sanggup menjaga hati dari seseorang sepertimu. Kau terluka karena perlakuanku. Perlakuan dalam jauh yang tak bisa kuralat. Dan rupanya, itulah saat terakhir ku bisa bersamamu. Melihatmu dengan senyummu yang menawan. Sungguh pantas bila kau membenciku. Silahkan. Lakukan yang menurutmu dapat menyembuhkan luka hatimu. Dan aku cukup tau diri untuk tak mengusik kehidupanmu. Mungkin kau berfikir aku menjauh, tapi pada kenyataan kau masih selalu ada di doaku. Kau dan keluargamu yang selalu aku semogakan. Terima kasih untuk kenangan manis selama ini.

Yogyakarta, 13 oktober 2016
Di bawah guyuran hujan
Dan di bawah bayang kenangan